Senin, 13 Maret 2017

BUSANA PELINGGIH BUKAN SEKADAR WARNA-WARNI, MELAINKAN SIMBOL

 

Bali yang sudah terkenal ke mancanegara dengan budaya dan tradisi yang masih sangat kental. Budaya dan tradisi yang kini masih dijaga sangat baik oleh umat Hindu yang ada di Bali dari leluhur hingga anak dan cucu yang akan meneruskannya. Terkenalnya Bali dimata dunia membuat budaya luar mudah masuk ke Bali. Meskipun banyak adanya budaya yang masuk ke Bali tetapi budaya Bali yang bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh budaya luar. Terkenalnya Bali sebagai pulau seribu pura, tempat pariwisata yang ramai dikunjungi para wisatawan. Pura sebagai tempat beristananya para Dewa dan leluhur umat Hindu, tempat yang suci dan sakral. Bali yang dahulunya agraris religius kini sudah berubah menjadi modern religius. Faktanya semenjak datangnya para wisatawan ke Bali membuat orang Bali buta akan segalanya. Melihat peluang yang bagus dan menguntungkan untuk orang banyak, Pura tempat sembahyang yang suci pun kini dijadikan tempat pariwisata. Bali sudah dijadikan tempat peluang membuka usaha oleh asing baik dalam hal menjual aksesoris dan pernak-pernik lainnya. Tak hanya lahan di Bali yang digunakan dalam membuka peluang usaha, ada juga memakai nama Bali dalam menjual aksesorisnya. Kenyataanya dilihat pedagang pelangkiran yang identik dengan tempat mebanten orang Bali kini dibuat oleh luar orang Bali, bahkan tidak beragama Hindu. Nah, bagaimana dengan wastra dan tedung?
Agung Sri Handayani adalah seorang sarjana S1 di Institut Hindu Dharma Negeri yang kini bekerja sebagai guru agama Hindu di Smp Negeri 1 Mengwi mengatakan bahwa, wastra dan tedung merupakan simbol pernak-pernik yang sakral dalam upacara agama Hindu di Bali. Wastra yang selalu menghiasi setiap pelinggih saat upacara keagamaan di Bali. Setiap warna-warni wastra atau kedape terpasang di pelinggih-pelinggih itu sudah tanda umat Hindu di Bali sedang ada upacara agama. Kamen pelinggih, ider-ider, saput adegen, kedape, langse merupakan sarana upacara yang biasa disebut dengan wastra. Warna wastra dipasang sesuai dengan jenis pelinggih tersebut. Warna wastra putih kuning artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Warna putih kuning biasa dipasang pada pelinggih surya atau padmasana, rong tiga atau betara yang guru. Wastra merah melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida sebagai Tri Kona. Dalam hal inilah Tuhan sebagai Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti dalam mencipta, memelihara dan mempralina digunakan dalam pelinggih taksu atau brahma. Sedangkan makna warna kain putih sebagai simbol kesucian disebutkan seperti halnya dalam penggunaan wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya sebagai pesaksi dalam setiap upacara yadnya. Warna hitam putih atau poleng digunakan dipelinggih tugu karang, ratu gede, pengijeng. Membuat wastra ada banyak jenisnya dan ukurannya. Ukuran wastra tidak tentu tergantung dari pemesan, pembeli biasa langsung membawa ukuran wastra yang akan dipesan atau penjual dipanggil ke rumah untuk mengukur langsung pelinggih-pelinggih yang akan dibuatkan wastra. Kain wastra yang digunakan ada tiga jenis ada kain satin, kain beludru, kain Singapore. Wastra untuk upacara keagamaan ada yang polos ada juga yang disablon. Pembuatan wastra yang melalui proses pensablonan memerlukan waktu yang lebih lama. Pertama-tama kain disablon sesuai dengan motif yang dipilih, bahan yang digunakan dalam mensablon lem, sren, raket, dan prade. Digunakan lem pada pembuatan kain wastra agar prade mau menempel pada kain. Sren merupakan alat berbentuk persegi yang berukuran kecil, kemudian raket ditempel pada bagian atas kain yang akan disablon. Pada permukaan raket diberi lem kemudian sren digunakan agar lem merata pada bagian raket yang akan dibentuk. Setelah diberi lem kain ditutupi dengan plastic prade dan dijemur dibawah matahari selama dua hari. Jika lem pada kain sudah benar-benar kering, plastik prada dibuka agar terlihat hasilnya. Proses pensablonan selesai selanjutnya dilakukan proses penjaritan yang membuat kain-kain itu menjadi ukuran yang akan digunakan dalam pelinggih. Sudah menjadi tradisi setiap upacara agama Hindu di Bali menggunakan wastra. Itulah warna-warni wastra dalam upacara.

3 komentar:

  1. Sebaiknya dishare juga ttg warna wastra utk tiap pelinggih. Smtr utk ksin poleng kan ada tiga jenis, spt. poleng hitam putih, poleng merah putih, dan poleng merah putih kuning.
    Dmk juga utk warna payung ato pajeng di tiap pelinggih.

    BalasHapus
  2. Sudah disebutkan wastre Taksu warna merah, Klo Pengrurah wastrenya warna apa?

    BalasHapus
  3. Di Gianyar warna wastra pelinggih Taksu adalah kuning, di lain daerah ada yg merah dan ada yg hitam. Lalu warna wastra pelinggih Taksu itu seharusnya warna apa?

    BalasHapus