Selasa, 14 Maret 2017

Umbul-umbul Lambang Naga Taksaka

Lembaran kain berbentuk segi tiga memanjang/ meninggi yang semakin ke atas semakin mengecil / mengrucut dan pada ujungnya dihiasi dengan segi tiga yang biasa disebut umbul-umbul. Umbul-umbul sebagai salah satu seni dan budaya masyarakat Bali yang sarat aktivitas adat dan seni dengan konsep dasar sistem simbol yang menyatu dan berhubungan erat dengan keyakinan dan kepercayaan pada dewa maupun totemisme. Umbul-umbul yang tingginya mencapai 5 sampai 10 meter, berlukiskan naga yang sangat dekoratif dan sering ditempatkan di area pura-pura atau digunakan sebagai sarana parade prosesi Hindu Bali.Dilihat dari bentuknya yang unik dan menarik memberikan inspirasi pada masyarakat untuk membuat padanannya dimungkinkan untuk digunakan dalam konteks yang bersifat profane. Secara kasat mata dengan dipancangkan umbul-umbul memberi kesan kemeriahan suasana. Inilah salah satu alasan umbul-umbul diadopsi dalam bentuk dan aksesoris berbeda untuk kepentingan di luar kegiatan seremonial religius Hindu. Dalam bidang keagamaan di masyarakat Bali, umbul-umbul biasanya terletak di halaman pura sebagai sarana upacara yadnya. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara yang disebut social sistem atau sistem kemasyarakatan yang berwujud “kelakuan” maupun material culture “hasil karya kelakuan. Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita. Generasi kini tanpa diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul umbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya.
Perubahan yang kerap terjadi pada jenis umbul-umbul berdasarkan pengamatan yang dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang ada. Kesamaan struktur umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang dijadikan dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan. Umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi gantungan. Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada pada ujung umbul-umbul. Umbul- umbul yang digunakan pada saat upacara keagamaan biasanya dilukis dengan gambar Naga Taksaka yang sebagai simbol penguasaan alam atas dan harus terdapat segi tiga pada ujungnya. Fungsi dari gantungan segi tiga tersebut adalah ujungnya itulah sebenarnya yang disebut umbul-umbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah nada atau aksara nada. Makna dari naga itu sendiri adalah sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat dengan tuhannya dalam upaya mendapatkan merta atau kesejahteraan.

Dalam membuat umbul-umbul tidak bisa dilakukan dengan sembarangan harus sesuai dengan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. Hitungan tersebut biasanya berkaitan dengan fungsi dari dari umbul-umbul tersebut. Pembuatan umbul-umbul berdasarkan hitungan candi sangat baik dilakukan untuk membuat bangunan suci. Membuat umbul-umbul berdasarkan Rebah tidak baik dilakukan karena tidak baik untuk kegunaannya nanti. Hitungan Gunung membuat umbul-umbul sangat baik dilakukan dan hitungan Rubuh juga tidak baik dipergunakan dalam membuat umbul-umbul. Untuk mendapatkan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh, menggunakan hitungan hasta yaitu mulai dari siku sampai dengan ujung jari tangan. Seperti yang telah diingatkan sebelumnya, mengukur apapun tetap pengguna atau pemiliklah yang diukur sehingga umbul-umbul yang digunakan lebih bermakna dalam suatu upacara keagamaan.
Selain umbul-umbul identik pada saat upacara agama, umbul-umbul juga digunakan sebagai hiasan pada pinggir-pinggir pantai atau dipasang di villa. Hal ini dilakukan agar pinggiran pantai atau villa tempat rekreasi terlihat lebih cantik dengan kibaran kain warna-warni dari umbul-umbul tersebut. Umbul-umbul yang dipasang pada pinggiran pantai tidaklah sembarangan, karena kibaran kain umbul-umbul yang dipasang tidak berisi gambar naga taksaka. Biasanya umbul-umbul yang digunakan adalah kain biasa, dan tinggi umbul-umbul pun beragam. Jika dalam hal ini fungsi umbul-umbul hanyalah sebagai hiasan tempat tertentu tanpa mengurangi dari fungsi umbul-umbul tersebut.

Tedung Bali dalam Upacara Agama Hindu

Indahnya Bali sudah terkenal hingga mancanegara. Bali yang kaya akan tradisi dan adat. Agama Hindu di Bali sering melaksanakan dua ritual, yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Nitya Yadnya adalah ritual yang diadakan setiap hari secara teratur. Naimitika Yadnya adalah ritual yang dilakukan pada waktu tertentu. Umat Hindu pada hari tertertu melaksanakan upacara, dalam upacara tersebut menggunakan pelengkap upakara salah satunya tedung. Tedung merupakan pelengkap upakara yang berbentuk seperti payung, sebagai salah satu jenis perangkat upacara yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali, tedung memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. Tedung atau Pajeng asal muasalnya bukanlah payung biasa yang digunakan untuk keperluan sehari-hari saat musim hujan atau kepanasan. Walaupun fungsi utamanya tetap sebagai pelindung, Tedung atau Pajeng ini digunakan dalam aktifitas upacara adat/keagamaan sebagai pelindung pelinggih-pelinggih di merajan atau di pura. Tedung biasanya diletakkan di belakang pelinggih atau Padma seperti bagaimana fungsinya yaitu sebagai pelindung.
Warna tedung dalam upakara biasanya digunakan hanya warna putih, kuning, hitam, merah,serta poleng. Warna itu digunakan sesuai dengan makna dari warna tedung tersebut, tedung warna putih berkaitan dengan lambang Ciwa yang berarti sinar suci Tuhan dalam aktifitas peleburan alam semesta, tedung putih diletakkan di pelinggih padmasana atau surya di setiap merajan atau pura. Sedang tedung warna hitam berkaitan dengan lambang Wishnu, sinar suci Tuhan dalam aktifias pemeliharaan semesta, tedung berwarna hitam ini diletakkan di sumur atau tempat penyimpanan air. Tedung berwarna merah berkaitan dengan lambang Brahma, sinar suci Tuhan dalam aktifitas penciptaan semesta.


Tedung berwarna merah biasanya diletakkan di pelinggih Taksu dimerajannya, ada juga orang Bali di merajannya tidak terdapat atau tidak memiliki pelinggih Taksu. Tedung hitam putih melambangkan keseimbangan alam (Rwa Bhineda) yang biasanya tedung hitam putih atau orang Bali menyebutnya dengan Poleng ini dipasang pada pelinggih Tugu Karang, Ratu Gede, dan Penyijeng.
Jenis tedung ada tiga dari ukuran kecil, sedang, dan tedung yang berukuran besar atau biasa dikatakan tedung agung. Tedung kecil yang tingginya satu meter pada upacara keagamaan maupun adat jarang digunakan. Karena tedung kecil ini dibuat untuk hiasan di meja atau ruang tamu, kebanyakan peminat  tedung berukuran kecil ini dari luar negeri terutama turis yang berlibur ke Bali. Tedung berukuran kecil dipilih wisatawan karena mudah dibawa ke negaranya, kemudian dipasang di atas meja agar terlihat khas Pulau Dewata.
Pada saat upacara keagamaan maupun upacara lainnya tedung yang digunakan adalah tedung yang berukuran sedang kurang lebih tingginya 2 x 2.5 (dua setengah) kali lebar lingkaran atap atau mendekati tiga kali dari lebar lingkaran. Tedung berukuran sedang ini paling banyak peminatnya di Bali. Dilihat dari segi harga bisa dijangkau oleh semua umat Hindu atau yang memakainya. Tedung berukuran sedang ini dijual dengan harga 110 untuk jenis tedung satin, 350 ribu jenis tedung sedang bludru, dan 375 untuk tedung berukuran sedang jenis kain rob-rob bludru. Tedung Robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau.

Senin, 13 Maret 2017

Aksesoris Upacara Bali

Sang mentari baru saja menampakan diri dari upuk timur. Langit masih biru yang belum diselimuti oleh awan-awan putih. Sinar matahari yang perlahan berjalan menuju ke arah Barat. Ia memantulkan cahayanya di atas atap-atap yang terbuat dari pohon jaka iya orang Bali biasa menyebutnya dengan Duk. Sinar matahari mulai berada di ubun-ubun kepala panasnya membakar kulit, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi semangat umat Hindu dalam menjalani kepercayaannya terhadap Tuhan. Alunan suara genta, semerbaknya aroma dupa dan bunga, warna-warni kain yang mengikat pada setiap pelinggih dan kibaran umbul-umbul yang ditiup angin pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali.Tiang yang tingginya kurang lebih 2 meter ini berdiri di samping kanan, atapnya melengkung dan ditutupi kain berwarna-warni. Melindungi dari hujan dan sinar matahari itu fungsi dari tedung bali. Tedung Bali atau boleh juga disebut dengan pajeng ini selalu menghiasi merajan atau pura disaat upacara karena merupakan bagian dari pernak-pernik upacara agama. Batang tedung dipolesi cat berwarna coklat itu terlihat manis bagi yang melihatnya. Begitupu dengan iga-iga yang terdapat dibalik kain berwarna-warni itu yang berjumlah 35 rusuk, tak lupa diberi warna sesuai denga kain yang menutupinya. Di sela iga-iga terlihat beberapa helai benang wol, benang dirajut dari iga satu dilanjutkan ke iga-iga selanjutnya. Dari tumpukan benang wol yang telah dirajut terdapat di tengah-tengah rangka tedung yang berdiri di samping kanan pelinggih di merajan.
Tedung tidak berdiri sendiri saat upacara agama, di sisi kiri terdapat tiang yang terbuat dari besi berukuran 2,5 meter. Tiang yang terbuat dari besi ini pada ujungnya dibuat melengkung agar kain umbul-umbul bisa mengikuti bentuk tiang tersebut. Kain umbul-umbul yang berwarna-warni berkibar saat ditiup angin, terdapat gambar Naga Taksaka yang memiliki arti penguasaan alam atas. Pada ujung kain harus terdapat gantungan yang berbentuk hati itulah yang disebut umbul-umbul dalam upacara keagamaan Hindu di Bali.

Kain berwarna-warni terpasang atau mengikat pada setiap pelinggih. Kain warna-warni itu orang Bali biasa menyebutnya dengan wastra. Wastra harus ada setiap upacara keagamaan baik upacara kecil atau upacara besar. Kain yang mengikat indah pada pelinggih merupakan kamen pelinggih, pada setiap pelinggih memiliki warna kain yang berbeda-beda sesuai dengan pelinggihnya dan fungsinya. Pada pelinggih yang biasanya terletak pada pekarangan rumah yang menghadap ke barat atau bisa juga terletak di merajan atau sanggah yang terletak di sudut timur, di antara pelinggih yang lain pelinggih ini biasanya paling tinggi yang di sebut dengan surya atau padmasana. Pelinggih surya atau padmasana ini bisanya diikat atau wastranya berwarna putih dan kuning, begitupun dengan tedung dan umbul-umbulnya.

Tedung Penghantar Kesuksesan

      Pada zaman sekarang usia tidak menjamin sukses atau tidaknya seseorang dalam hidupnya, tak hanya orang tua saja yang berani berusaha tapi anak muda pun tak mau kalah ia berlomba-lomba dalam mengembangkan sayapnya dalam bidang berusaha” ungkap pengusaha muda ini. Pengusaha muda yang tampan dan berkulit sawo matang ini bernama I Gusti Ngurah Arya Suputra atau biasa disapa dengan Gus Arik. Gus Arik lahir di Mengwi pada tanggal 10 Februari 1992 yang kini berusia 24 tahun. Gus Arik merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Sejak berusia 17 tahun ketika masih duduk dibangku sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Mengwi Gus Arik sudah membantu orang tuanya bekerja membuat tedung untuk upacara.
       Uang bekal sekolah yang didapatkan upah dari memotong-motong bambu di usaha ayahnya. Meskipun ayahnya memiliki usaha membuat tedung dan pernak-pernik upacara, tetapi Gus Arik tidak mau menjadi orang yang malas dan manja yang meminta uang kepada orang tuanya. Gus Arik berusaha mencari bekal sendiri untuk dirinya sendri dari membantu-bantu orang tua. berusaha mencari bekal sendiri untuk dirinya sendri dari membantu-bantu orang tua.
        Lulus dari sekolah menengah atas (SMA) Gus Arik melanjutkan sekolahnya kejenjang yang lebih tinggi di salah satu Universitas Swasta di Bali. Mengambil jurusan ekonomi di Universitas Warmadewa. Gus Arik memilih kuliah ekstensi karena waktunya yang dipagi hari digunakan untuk bekerja dan pada sore hari melanjutkan kuliahnya untuk mengejar cita-citanya. Menjadi pegawai bank merupakan cita-citanya dari dulu, maka dari itu Gus Arik memilih jurusan ekonomi. Setelah menyelesaikan pendidikanya di S1 Gus Arik hendak mendaftarkan diri bekerja di Bank akan tetapi orang tua melarangnya bekerja menjadi pegawai Bank. Hal itu dilakukan oleh orang tuanya agar Gus Arik melanjutkan usaha dari orang tuanya sebagai pewaris, karena Gus Arik anak laki-laki sendiri diantara saudaranya yang lain.
Melanjutkan usaha membuat pernak-pernik upacara seperti tedung, wastra, dan umbul-umbul yang telah berdiri sejak tahun 1985. Dalam membangun usaha tentu bukanlah hal yang mudah. Jatuh bangun, untung rugi sudah pernah dialami oleh Gus Arik. Gus Arik sudah mengalami kerugian 5 juta karena kayu yang dibeli mengalami banyak kerusakan dan tidak boleh dikembalikan. Tidak hanya itu dalam proses pembuatan tedung Gus Arik sering mendapatkan konplain dari pembeli karena tedung yang dipesan tidak selesai sesuai dengan kesepakatan. Hal itu dikarenakan musim yang tidak menentu, terkadang hujan yang berkepanjangan membuat bahan-bahan tedung susah untuk dijemur.
Dari pengalaman yang dirasakan Gus Arik tidak patah semangat dalam melanjutkan usaha dari orang tuanya. Pada tahun 2012 usaha yang tekuni Gus Arik mengalami kesuksesan pemesanan tedung dari luar negeri membanjiri orderannya. Pengiriman tedung ke luar negeri setiap kali pemesanan sekitar 1 kontener sampai 5 kontener. Setiap barang yang sudah dikirim, Gus Arik langsung mengejar target menyelesaikan pemesanan yang lainnya. Dalam membuat tedung Gus Arik dibantu oleh 8 karyawannya.

BUSANA PELINGGIH BUKAN SEKADAR WARNA-WARNI, MELAINKAN SIMBOL

 

Bali yang sudah terkenal ke mancanegara dengan budaya dan tradisi yang masih sangat kental. Budaya dan tradisi yang kini masih dijaga sangat baik oleh umat Hindu yang ada di Bali dari leluhur hingga anak dan cucu yang akan meneruskannya. Terkenalnya Bali dimata dunia membuat budaya luar mudah masuk ke Bali. Meskipun banyak adanya budaya yang masuk ke Bali tetapi budaya Bali yang bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh budaya luar. Terkenalnya Bali sebagai pulau seribu pura, tempat pariwisata yang ramai dikunjungi para wisatawan. Pura sebagai tempat beristananya para Dewa dan leluhur umat Hindu, tempat yang suci dan sakral. Bali yang dahulunya agraris religius kini sudah berubah menjadi modern religius. Faktanya semenjak datangnya para wisatawan ke Bali membuat orang Bali buta akan segalanya. Melihat peluang yang bagus dan menguntungkan untuk orang banyak, Pura tempat sembahyang yang suci pun kini dijadikan tempat pariwisata. Bali sudah dijadikan tempat peluang membuka usaha oleh asing baik dalam hal menjual aksesoris dan pernak-pernik lainnya. Tak hanya lahan di Bali yang digunakan dalam membuka peluang usaha, ada juga memakai nama Bali dalam menjual aksesorisnya. Kenyataanya dilihat pedagang pelangkiran yang identik dengan tempat mebanten orang Bali kini dibuat oleh luar orang Bali, bahkan tidak beragama Hindu. Nah, bagaimana dengan wastra dan tedung?
Agung Sri Handayani adalah seorang sarjana S1 di Institut Hindu Dharma Negeri yang kini bekerja sebagai guru agama Hindu di Smp Negeri 1 Mengwi mengatakan bahwa, wastra dan tedung merupakan simbol pernak-pernik yang sakral dalam upacara agama Hindu di Bali. Wastra yang selalu menghiasi setiap pelinggih saat upacara keagamaan di Bali. Setiap warna-warni wastra atau kedape terpasang di pelinggih-pelinggih itu sudah tanda umat Hindu di Bali sedang ada upacara agama. Kamen pelinggih, ider-ider, saput adegen, kedape, langse merupakan sarana upacara yang biasa disebut dengan wastra. Warna wastra dipasang sesuai dengan jenis pelinggih tersebut. Warna wastra putih kuning artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Warna putih kuning biasa dipasang pada pelinggih surya atau padmasana, rong tiga atau betara yang guru. Wastra merah melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida sebagai Tri Kona. Dalam hal inilah Tuhan sebagai Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti dalam mencipta, memelihara dan mempralina digunakan dalam pelinggih taksu atau brahma. Sedangkan makna warna kain putih sebagai simbol kesucian disebutkan seperti halnya dalam penggunaan wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya sebagai pesaksi dalam setiap upacara yadnya. Warna hitam putih atau poleng digunakan dipelinggih tugu karang, ratu gede, pengijeng. Membuat wastra ada banyak jenisnya dan ukurannya. Ukuran wastra tidak tentu tergantung dari pemesan, pembeli biasa langsung membawa ukuran wastra yang akan dipesan atau penjual dipanggil ke rumah untuk mengukur langsung pelinggih-pelinggih yang akan dibuatkan wastra. Kain wastra yang digunakan ada tiga jenis ada kain satin, kain beludru, kain Singapore. Wastra untuk upacara keagamaan ada yang polos ada juga yang disablon. Pembuatan wastra yang melalui proses pensablonan memerlukan waktu yang lebih lama. Pertama-tama kain disablon sesuai dengan motif yang dipilih, bahan yang digunakan dalam mensablon lem, sren, raket, dan prade. Digunakan lem pada pembuatan kain wastra agar prade mau menempel pada kain. Sren merupakan alat berbentuk persegi yang berukuran kecil, kemudian raket ditempel pada bagian atas kain yang akan disablon. Pada permukaan raket diberi lem kemudian sren digunakan agar lem merata pada bagian raket yang akan dibentuk. Setelah diberi lem kain ditutupi dengan plastic prade dan dijemur dibawah matahari selama dua hari. Jika lem pada kain sudah benar-benar kering, plastik prada dibuka agar terlihat hasilnya. Proses pensablonan selesai selanjutnya dilakukan proses penjaritan yang membuat kain-kain itu menjadi ukuran yang akan digunakan dalam pelinggih. Sudah menjadi tradisi setiap upacara agama Hindu di Bali menggunakan wastra. Itulah warna-warni wastra dalam upacara.